Senin, 03 Agustus 2009

PELANGI DI ATAS PUSARA

(Rayung ing astana)
*) puisi spontan ini aku dedikasikan tuk sobatku Nur hayatii


kutak dapat menghitung berapa kali embun pagi menetes di ujung lidah rerumputan, apalagi kuharus menghitung seberapa besar limpahan kasih-Mu padaku Yaa Allah...

aku tak mampu
sungguh
aku tak mampu!

mengukur kedalaman samudra mengukur ketinggian himalaya bahkan mengukur bentang gendewa dapat diterka tapi kedalaman hati...?
oh
aku tak bisa
sungguh
aku tak bisa!

saat sang surya sepenggalah menyeret waktu menuju tepian senja, pucuk-pucuk cemara melambai seakan sehabis senja tak ada lagi kehidupan buatku

; ?

(diamku camar elang pulang kandang... hemm dingin menyergap tulangtulang rawan)

di atas bale-bale bambu kupijatpijat kakiku, kupijatpijat niatku agar tetap lurus lempeng
sedang jalan yang berliku sebenarnya lebih menampilkan dinamika
tapi oh...
yang mudahmudah tak selamanya dapat menghantarku ke kehendak-Mu

disaat pelangi di atas pusara, kubaru dapat terkesima tapi belum dapat memaknai untuk apa Kau hantarkan bianglala di atas pusara?
; sungguh
aku lupa
bahwa hantaran-Mu salah satu pertanda nikmat yang seharusnya aku syukuri pula

...
Muhammad Ponco Wae
Tangerang, 2 Agustus 2009 - 20:14

0 komentar:

Posting Komentar